Supported By    supporter logo

Kompleks Candi Padang Roco


Kompleks Candi Padang Roco

Dhamarsraya adalah nama salah satu kabupaten di Provinsi Sumatra Barat yang kaya dengan tinggalan arkeologi. Dharmasraya memiliki perjalanan sejarah yang cukup panjang, nama Dharmasraya pertama kali disebutkan dalam sebuah prasasti kuno yaitu Prasasti Amoghapasa yang berasal dari abad ke-13. Dharmasraya adalah gabungan dari dua suku kata yaitu ‘Dharma’yang berarti hukum; kebiasaan; tata cara; tingkah laku yang ditentukan oleh adat istiadat sedangkan ‘Asraya’ berarti tempat segala sesuatu bergantu atau terletak;tempat perlindungan; dan pertolongan. Kedua suku kata tersebut menegaskan bahwa arti nama Dharmasraya adalah suatu daerah yang bergantung pada sistem tata hukum atau aturan-aturan.

Dharmasraya merupakan sebuah daerah yang dahulunya pernah menjadi pusat atau ibu kota Kerajaan Melayu Kuno, tepatnya pada tahun1286 M – 1347 M. Kerajaan Melayu Kuno merupakan salah satu kerajaan yang cukup masyhur di tanah Sumatra. Nama kerajaan Melayu Kuno pertama kali disebut dalam berita Cina yaitu kitab Sejarah Dinasti T’ang yang mengisahkan adanya utusan dari negeri Mo-lo-yeu pada 664-645 M serta I-Tsing dalam perjalanannya di Nusantara pada 672 M menyebutkan bahwa Ia tinggal selama enam bulan di Shih-li-fo-shih (Sriwijaya) dan dua bulan singgah di Mo-lo-yeu sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya ke India.

Nama Kerajaan Melayu Kuno kembali muncul dalam Prasasti Kota Kapur yang ditulis pada 686 M dan Prasasti Karang Berahi berasal dari abad ke-7 menyiratkan informasi bahwa Kerajaan Melayu Kuno pada abad tersebut menjadi wilayah dibawah kekuaasaan Kerajaan Sriwijaya. Bukti sejarah tersebut sejalan dengan catatan perjalanan I-Tsing pada 692 yang berupaya kembali ke Cina dari India melalui Nusantara. Dalam catatan perjalanannya, dan menjelaskan bahwa Mo-lo-yeu telah menjadi bagian dari shih-li-fo-shih atau Kerajaan Sriwijaya.

Kerajaan Melayu Kuno dan Sriwijaya merupakan dua kerajaan di Sumatra yang memiliki fase perkembangan yang berbeda. Secara kronologis, fase perkembangan Kerajaan Melayu Kuno dapat dibagi menjadi tiga tahap, yaitu fase awal pada pertengahan abad ke-7 M, fase pendudukan oleh kerajaan Sriwijaya dari 680 M hingga pertengahan abad ke-11, dan fase akhir pada pertengahan abad ke-11 hingga menjelang akhir abad ke-14.

Kerajaan Melayu Kuno memiliki hubungan yang cukup erat dengan kerajaan di Jawa. Dua naskah terkenal dari Jawa yaitu naskah Negarakrtagama dan Pararaton mengisahkan pada 1275 M, Raja Kertanegara dari Singhasari mengirim utusan ke Sumatra yang kemudian dikenal dengan nama ekspedisi pamalayu. Ekspedisi tersebut bertujuan untuk menjalin kerjasama antara Singhasari dengan Melayu Kuno dalam rangka menghadapi invasi serangan tentara Mongol yang dipimpin oleh Khubilai Khan. Dalam ekspedisi tersebut,Kertanegara memberikan hadiah kepada penguasa Melayu Kuno kala itu yaitu Sri Wiswarupakumara berupa sebuah Arca Amoghapasa beserta 14 pengiringnya dan saptarana ditempatkan di Dharmasraya. Arca Amoghapasa tersebut kemudian menjadi bukti persahabatan antara Kerajaan Singhasari dengan Kerajaan Melayu Kuno yang berpusat di Dharmasraya.

Adalah Verkerk Pistorius, orang pertama yang melaporkan keberadaan reruntuhan beberapa reruntuhan di daerah aliran Sungai Batanghari pada era 1860-an. Laporan tersebut kemudian ditindaklanjuti oleh L.C. Westenek dengan mengadakan penelitian berupa survey dan pemetaan di daerah Padangroco tahun 1909. Ia berhasil mengidentifikasi sejumlah sisa reruntuhan bata yang diperkirakan merupakan reruntuhan bangunan. Hasil dari penelitian dan pemetaan tersebut kemudian dipublikasikan oleh Westenenk pada sebuah artikel yang berjudul “De Hindoe-Javanen in Midden en Zuid Sumatra”, dalam buku Handelingen vanhet Eerste Congress voor de Taal-, Land- en Vokenkunde van Java, dan diterbitkan pada tahun 1919. Dalam buku tersebut, Westenek menjelaskan bahwa sisa-sisa bangunan di daerah Padangroco berbentuk gundukan yang disebut dengan istilah‘munggu’ oleh penduduk sekitar. Keberadaan situs-situs arkeologi di daerah hulu sungai Batanghari Kembali diberitakan oleh F.M. Schnitger buku karangannya yang berjudul The Archaeology of Hindoo Sumatra terbit pada tahun 1937.

Perhatian kembali terhadap kepurbakalaan di daerah hulu Sungai Batanghari baru diaktifkan kembali pada tahun 1991 oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala (SPSP) (kini Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Provinsi Sumatera Barat dan Riau dengan dilakukannya survei terhadap sejumlah situs di daerah tersebut. Setelah kegiatan awal tersebut, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (Puslitarkenas) bersama dengan BPCB Provinsi Sumatera Barat dan Riau mulai intensif melakukan penelitian arkeologi berupa survei dan ekskavasi yang dilakukan pada tahun 1991, 1992, 1993, dan 1994.Ekskavasi yang pernah dilakukan selama empat kali tersebut baru dipusatkan di Situs Padangroco untuk menampak ungkapkan sisa-sisa tiga bangunan bata.Penelitian terakhir yang dilakukan Puslitarkenas adalah pada tahun 2003.Penelitian dilakukan untuk mengetahui keberadaan situs-situs purbakala disepanjang DAS Batanghari baik melalui survei maupun ekskavasi yang dilakukan mulai dari hulu sampai ke hilir. Sasaran penelitian adalah untuk mengetahui gejala arkeologis yang ada di sepanjang daerah aliran Sungai Batanghari. Dari penelitian tersebut diketahui bahwa di sepanjang DAS Batanghari (dari Situs Padangroco sampai Pulau Sawah) mengandung peninggalan berupa bangunan percandian, yang sampai saat ini di beberapa tempat masih berupa gundukan tanah atau yang oleh masyarakat disebut sebagai munggu. Secara umum beberapa bangunan candi tersebut terdapat di suatu tempat yang sekelilingnya di kelilingi olehparit, baik parit alam maupun buatan.

Sumber: Wikipedia.

Comment
Open Discussion
Copyright © . Visual Anak Negeri